Suarantt.id, Oelamasi-Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT mengungkap data terbaru terkait pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan pemaparan Suratmi Hamida dari BP3MI NTT, sebanyak 3.212 pekerja migran asal NTT telah ditempatkan secara resmi di luar negeri, dengan mayoritas bekerja di Malaysia. Namun, migrasi ilegal masih menjadi tantangan besar, dengan tercatat 2.716 kasus pekerja migran bermasalah, di mana 98 persen merupakan PMI ilegal.
Dari berbagai kasus yang dialami PMI asal NTT, 63,5 persen terkait kehilangan kontak atau tidak memiliki dokumen lengkap, 22,8 persen meninggal dunia, 3,2 persen mengalami sakit serius, dan 1,9 persen menghadapi permasalahan gaji.
Untuk menekan angka migrasi ilegal dan meningkatkan perlindungan bagi pekerja migran, BP3MI terus menggalakkan Program “5 SIAP” (Siap Fisik dan Mental, Siap Bahasa, Siap Keterampilan, Siap Dokumen, dan Siap Pengetahuan Negara Tujuan). Selain itu, tren pemulangan ibu dan anak pekerja migran juga meningkat, dari 65 kasus pada 2022 menjadi 83 kasus hingga Agustus 2024. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah masalah identitas kependudukan anak-anak yang lahir di luar negeri tanpa dokumen resmi, yang menghambat akses mereka terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.
Sinergi untuk Menekan TPPO di NTT
Sebagai provinsi dengan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tertinggi di Indonesia, NTT membutuhkan sinergi yang kuat antara berbagai pihak, termasuk Kejaksaan, BP3MI, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) turut mengambil peran aktif dalam upaya pencegahan TPPO dengan mengadakan penyuluhan bertajuk “Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang: Peran Kejaksaan dan Masyarakat” di Kantor Camat Amarasi Timur, Kabupaten Kupang. Kegiatan yang berlangsung selama tiga jam ini dihadiri sekitar 80 peserta, termasuk kepala desa, sekretaris desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), ketua RW, ketua RT, serta tokoh pemuda setempat.
Dalam kegiatan tersebut, peserta aktif berdiskusi dan berbagi pengalaman terkait pencegahan TPPO. Dengan edukasi yang lebih luas dan kesadaran yang meningkat, diharapkan angka perdagangan orang di NTT dapat ditekan, sehingga masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak, dapat hidup dalam lingkungan yang lebih aman dan terlindungi. ***





