Suarantt.id, Kupang-Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menggelar ekspose penghentian penuntutan berdasarkan mekanisme Restorative Justice (RJ) terhadap tiga perkara pidana, Selasa (4/3/25). Acara yang berlangsung secara virtual di Ruang Restorative Justice Kejati NTT ini terbagi dalam dua sesi, yakni pukul 09.30-10.00 WITA dan pukul 11.30-12.30 WITA.
Pada sesi pertama, Kejaksaan Negeri (Kejari) Alor mengajukan permohonan penghentian penuntutan terhadap tersangka Hemsy Semuel Pisdon, yang didakwa melanggar Pasal 311 Ayat (3) atau Pasal 310 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hemsy, yang mengendarai sepeda motor dalam keadaan mabuk hingga menyebabkan kecelakaan dan melukai korban, telah mencapai kesepakatan damai dengan korban setelah difasilitasi oleh Kejari Alor.
Sementara itu, pada sesi kedua, Kejari Rote Ndao dan Kejari Flores Timur mengajukan penghentian penuntutan bagi dua tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yakni Jek Kornelis Mulik alias Jero dan Hendrikus Lusi Odjan alias Endi. Keduanya didakwa melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Dalam kedua kasus ini, tersangka dan korban yang masih berstatus suami istri telah berdamai dan sepakat untuk melanjutkan kehidupan bersama tanpa dendam.
Alasan Penghentian Penuntutan
Berdasarkan hasil ekspose, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum melalui Direktur E dan Direktur C Kejaksaan Agung RI menyetujui penghentian penuntutan dengan mempertimbangkan beberapa aspek, di antaranya:
- Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
- Ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun.
- Perdamaian telah tercapai antara tersangka dan korban.
- Tersangka dan korban memiliki hubungan keluarga (suami-istri).
- Tidak ada dendam antara kedua belah pihak, dan mereka telah kembali hidup berdampingan.
- Masyarakat memberikan respons positif terhadap penyelesaian ini.
- Tersangka memiliki perilaku baik dan aktif dalam kegiatan sosial.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, para tersangka diwajibkan melakukan kerja sosial, seperti membersihkan tempat ibadah dan balai desa.
Kepala Kejaksaan Tinggi NTT, Zet Tadung Allo, menegaskan bahwa penerapan keadilan restoratif bukan sekadar menyelesaikan perkara hukum, tetapi juga bertujuan untuk memulihkan hubungan sosial yang terganggu akibat konflik.
“Kami ingin memastikan bahwa keadilan tidak hanya berbentuk hukuman, tetapi juga mampu membawa pemulihan sosial bagi masyarakat. Dalam kasus KDRT ini, yang terpenting adalah bagaimana suami istri dapat kembali membangun komunikasi yang sehat dan menjaga keharmonisan keluarga mereka,” ujar Zet Tadung Allo.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa pendekatan ini sejalan dengan kebijakan Kejaksaan Agung yang mendorong penerapan keadilan restoratif dalam perkara tertentu, terutama yang melibatkan relasi sosial yang masih dapat dipulihkan.
Kesimpulan
Keberhasilan Kejati NTT dalam memfasilitasi perdamaian melalui mekanisme RJ menunjukkan bahwa hukum dapat menjadi lebih humanis dan memberikan manfaat lebih luas bagi masyarakat. Dengan adanya penyelesaian ini, pasangan suami istri yang sebelumnya mengalami konflik diharapkan dapat menjalani kehidupan rumah tangga yang lebih harmonis. Kejati NTT juga berkomitmen untuk terus mengawasi dan memberikan pendampingan guna memastikan perdamaian ini benar-benar membawa perubahan positif.
Mekanisme RJ yang diterapkan di NTT ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi penyelesaian kasus serupa di masa mendatang, sehingga hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat penghukuman, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun kembali kehidupan yang lebih baik bagi para pihak yang terlibat. ***





