Oleh: Zet Tadung Allo, SH, MH
Suarantt.id, Kupang-Tragedi tenggelamnya Kapal Motor Penyeberangan (KMP) “Citra Mandala Bahari” di Selat Pukuafu pada Selasa, 31 Januari 2006, menjadi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Nusa Tenggara Timur (NTT). Selat yang terkenal berbahaya ini merenggut banyak nyawa, termasuk dua jaksa yang tengah bertugas ke Rote Ndao. Peristiwa itu bukan sekadar bencana, tetapi juga kisah heroik yang tak boleh dilupakan.
Tiga Jaksa di Tengah Badai
Di antara ratusan penumpang yang menaiki kapal tersebut, tiga di antaranya adalah jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri Rote Ndao: Soleman Bolla, Engkus Kusdinar, dan Philipus David Ay (Deddy). Ketiganya berlayar dari Kupang menuju Rote Ndao untuk menjalankan tugas di ujung selatan Indonesia.
Saat kapal mulai oleng akibat cuaca buruk dan patahnya kemudi, suasana berubah mencekam. Hujan deras dan petir menyelimuti malam yang gelap. Tangisan dan teriakan penumpang memenuhi udara. Soleman Bolla berhasil selamat dengan melompat keluar jendela kapal, sementara Engkus Kusdinar dan Deddy diduga tengah berusaha menghubungi keluarga mereka.
Menurut Wilmince Mangdalena Herlinda Tony, istri Soleman Bolla, suaminya berhasil bertahan selama dua jam di tengah laut dengan memanfaatkan potongan kayu sebagai rakit. Ia sempat berusaha mencari kedua rekannya, namun tak menemukan mereka. Soleman akhirnya diselamatkan oleh petugas TNI Angkatan Laut.
“Karena kisah heroiknya bertahan di laut selama dua jam, teman-teman di kantor menjuluki suami saya sebagai ‘Jaksa Apung’,” kenang Wilmince dengan suara haru.
Jaksa yang Gugur dan Kisah yang Mengiris Hati
Engkus Kusdinar ditemukan dalam kondisi tak bernyawa keesokan harinya. Namun yang paling memilukan adalah nasib Deddy. Menurut kesaksian, Deddy diduga berlari masuk ke dalam mobil dinas saat kapal mulai tenggelam. Mobil itu ikut karam bersama dirinya. Hingga kini jasad Deddy tidak pernah ditemukan.
Ibu Deddy, Marietje Margaretha Ay-Ndoen, yang juga merupakan jaksa perempuan kedua di NTT, mengenang anak bungsunya dengan penuh kesedihan.
“Dia anak bungsu saya. Saya berharap dia meneruskan perjuangan saya di Korps Adhyaksa. Tapi Tuhan berkehendak lain. Sampai sekarang jasadnya tidak ditemukan. Saya hanya bisa berdoa agar Tuhan bersamanya,” ujar Oma Marietje sambil meneteskan air mata.
Tragedi itu meninggalkan luka mendalam bagi keluarga Deddy. Lebih menyayat hati, saat kejadian istrinya tengah mengandung anak pertama mereka.
Pahlawan di Tengah Tragedi
Dalam peristiwa itu, seorang tahanan bernama Pangloli’ juga menunjukkan keberanian luar biasa. Pangloli’ disebut membantu banyak penumpang dengan membagikan pelampung yang berhasil ia kumpulkan. Tindakannya membuat banyak nyawa terselamatkan, termasuk dirinya sendiri.
Peristiwa di Selat Pukuafu bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga tentang keberanian, pengorbanan, dan keteguhan dalam menjalankan tugas negara. Kisah ini menjadi pengingat bahwa ada pahlawan yang berjibaku di tengah badai demi mengabdi kepada bangsa.
Semoga kenangan tentang Engkus Kusdinar dan Deddy terus hidup dalam ingatan, dan jasa mereka menjadi teladan bagi generasi penerus Korps Adhyaksa.
#MelawanLupa #JaksaHeroik #SelatPukuafu #KejaksaanRoteNdao





