Suarantt.id, Kupang-Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur, Johni Asadoma, tampil sebagai salah satu narasumber utama dalam Conference of the Indonesian Association for Public Administration (IAPA) 2025 yang berlangsung di Grha Undana, Kupang pada Rabu (29/10/2025).
Konferensi internasional ini dihadiri oleh President of the IAPA, Agus Pramusinto, serta sejumlah akademisi dan pejabat publik, di antaranya Wakil Rektor III Undana, Siprianus Suban Garak, Dekan Fisip Undana, William Djani, dan Plh. Sekda Kota Kupang, Yanuar Dally. Dari luar negeri, hadir pula Stein Kristiansen (Norwegia), Kwon Gi Heon (Korea Selatan), serta H.E. Agostinho Letencio de Deus, Presiden Civil Service Commission Timor Leste, sebagai narasumber internasional.
Dalam pidato ilmiahnya yang berjudul “Menuju Pendidikan Digital Berkeadilan: Mereformasi Kerangka Kebijakan Publik”, Wagub Johni Asadoma menyoroti tantangan besar yang dihadapi daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) dalam proses transformasi digital di bidang pendidikan. Ia menegaskan perlunya reformasi kebijakan publik yang lebih adaptif, inklusif, dan berbasis keadilan sosial.
“Transformasi digital adalah takdir peradaban modern. Namun visi besar ini diuji oleh realitas kompleks di daerah 3T. Kita harus memastikan kebijakan digital tidak justru memperlebar jurang ketimpangan,” tegas Asadoma di hadapan peserta konferensi.
Dalam paparannya, Asadoma memperkenalkan Model Implementasi Asadoma, sebuah pendekatan konseptual baru dalam administrasi publik yang dirancang untuk memastikan pemerataan akses digital di seluruh wilayah NTT. Model ini menekankan tiga pilar utama:
Kebijakan Afirmatif Alokasi sumber daya digital secara proporsional sesuai kondisi riil sekolah di daerah 3T, bukan seragam.
Kemauan Politik Lokal (Local Political Will) Komitmen politik daerah untuk mengintegrasikan prioritas digital ke dalam RPJMD, APBD, dan kebijakan daerah.
Transformasi Perilaku Manusia (Human Behavior Transformation) — Perubahan mindset guru, kepala sekolah, dan pelaku pendidikan agar menjadikan teknologi digital sebagai peluang, bukan beban.
Menurut Asadoma, model ini dapat menjadi jembatan antara kebijakan nasional yang bersifat top-down dengan realitas lapangan yang bersifat bottom-up, sehingga pelaksanaan kebijakan digital lebih efektif dan berkeadilan.
Ia juga menyoroti sejumlah hambatan struktural yang masih dihadapi NTT, seperti keterbatasan jaringan internet, akses listrik, rendahnya kompetensi digital tenaga pendidik, dan ketimpangan anggaran antarwilayah.
“Kebijakan yang seragam dan sentralistik tidak lagi relevan untuk menghadapi tantangan geografis dan sosial di NTT. Kegagalan implementasi kebijakan digital adalah kegagalan moral dalam memenuhi hak setiap anak untuk memiliki masa depan yang setara,” ujarnya tegas.
Menutup pidatonya, Johni Asadoma menyerukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk memperkuat administrasi publik sebagai alat transformasi sosial. Ia berharap pendidikan digital di NTT dapat menjadi motor penggerak kemajuan daerah 3T menuju masyarakat digital yang adil dan sejahtera. ***





