Suarantt.id, Kupang-Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) menggelar seminar ilmiah memperingati Hari Lahir Kejaksaan Republik Indonesia ke-80 Tahun 2025 dengan tema “Optimalisasi Pendekatan Follow The Asset dan Follow The Money melalui Deferred Prosecution Agreement dalam Penanganan Perkara Pidana.”
Kegiatan tersebut dibuka langsung oleh Kepala Kejati NTT, Zet Tadung Allo. Seminar ini diikuti sekitar 800 peserta, mulai dari pejabat utama dan pegawai Kejati, para Kajari se-daratan Timor, unsur Forkopimda Provinsi NTT, Bupati Kupang Yosef Lede, akademisi, advokat, perbankan, mahasiswa, hingga insan pers. Seluruh pegawai kejaksaan negeri se-NTT juga terhubung secara daring.
Dalam sambutannya, Kajati Zet Tadung Allo menegaskan peringatan HUT Kejaksaan ke-80 bukanlah seremoni belaka, melainkan ajang refleksi dan konsolidasi untuk memperkuat komitmen pemberantasan korupsi.
Ia memaparkan data ICW: jumlah kasus korupsi melonjak dari 271 kasus pada 2019 menjadi 791 kasus dengan 1.695 tersangka di 2023. Kerugian negara mencapai Rp62,9 triliun (2020), Rp56,7 triliun (2021), dan Rp48,7 triliun (2022).
“Penindakan saja tidak cukup. Korupsi memperlambat pertumbuhan ekonomi, menghambat investasi, memperlebar ketimpangan, dan memperburuk kemiskinan. Karena itu, strategi pemberantasan korupsi harus menyentuh akar persoalan dengan memperkuat tata kelola, menumbuhkan budaya integritas, serta membangun kepercayaan publik,” tegasnya.
Seminar dipandu Dekan FH Undana, Dr. Simplexius Asa, menghadirkan dua narasumber utama.
Prof. Dr. Musakkir, S.H., M.H. (Unhas) menjelaskan bahwa Deferred Prosecution Agreement (DPA) memberi ruang bagi jaksa menunda penuntutan korporasi dengan syarat perbaikan tata kelola, pembayaran ganti rugi, dan pencegahan tindak pidana ulang. Ia menilai penerapan DPA butuh landasan hukum kuat, mekanisme pengawasan kredibel, serta prinsip transparansi. Jika dijalankan profesional, DPA bisa memperkuat legitimasi hukum, melindungi kepentingan negara, sekaligus menjaga stabilitas ekonomi.
Dr. Anis Busroni, S.H., M.Hum. (Hakim Ad Hoc Tipikor PT Kupang) menekankan relevansi DPA dalam pembangunan hukum nasional. Menurutnya, DPA sejalan dengan RPJPN 2025–2045, ratifikasi UNCAC lewat UU No. 7/2006, serta konsisten dengan pendekatan follow the money dan follow the asset. Dengan regulasi jelas dan aparat profesional, DPA bisa menjadi instrumen efektif memulihkan aset negara, memperbaiki tata kelola korporasi, dan memperkuat legitimasi sistem hukum Indonesia.
Melalui seminar ini, Kejati NTT meneguhkan komitmen berinovasi dalam pemberantasan korupsi, mengoptimalkan instrumen hukum modern, dan menjunjung integritas serta profesionalisme.
Harapannya, upaya ini mampu menghadirkan penegakan hukum yang bersih, adil, dan berpihak pada kepentingan rakyat, sekaligus mendukung visi besar Indonesia Emas 2045. ***





