Oleh Eddy Ngganggus
Suarantt.id, Kupang-Bluetooth dirancang untuk koneksi jarak pendek biasanya sekitar 10 meter. Itulah definisi sederhana yang saya temukan di Google. Dua atau lebih perangkat hanya bisa terkoneksi bila berada dalam jarak dekat, dan itu pun jika berada pada frekuensi yang sama, kurang lebih 2,4 GHz. Teknologi ini mudah digunakan, praktis, cepat terkoneksi, dan sangat presisi. Siapa yang tidak tertarik dengan manfaat seperti itu?
Namun mari kita alihfungsikan konsep ini sebagai sebuah alegori: politik Bluetooth. Politik yang hanya mau terkoneksi dengan yang dekat dan sefrekuensi. Sebuah pendekatan politik yang praktis, cepat, dan terukur tetapi juga sempit dan eksklusif.
Dulu, politik bisa rusak karena kebodohan. Sekarang, politik rusak karena kepintaran yang kehilangan adab. Adab yang seharusnya menjadi ruh dari etika politik, perlahan menguap, tergerus oleh ambisi yang dibalut kepraktisan.
Atas nama presisi dan efisiensi, banyak politisi kini mengabaikan tata krama dan kepantasan. Makin pintar, makin lihai bersiasat tetapi juga makin biadab. Terjadilah apa yang saya sebut insens politik-politik yang tersegmentasi dalam radius sempit. Mereka hanya berinteraksi dengan yang segen, satu frekuensi, satu kepentingan. Ini seperti hubungan sedarah dalam keluarga-inses-yang jika dibiarkan akan melahirkan “keturunan politik autis”: tak peka, tertutup, dan tidak mampu berinteraksi dengan yang berbeda.
Politik Bluetooth ini memiliki dua ciri utama:
- Hanya menghubungkan yang dekat. Akibatnya, yang jauh tak mendapat koneksi. Politik menjadi eksklusif dan tidak merangkul.
- Hanya berinteraksi dengan yang satu frekuensi. Yang berbeda frekuensi? Silakan cari koneksi sendiri. Akibatnya, dialog dan keberagaman pandangan tak mendapat ruang.
Inilah dua sebab utama mengapa adab dalam politik hari ini mulai pudar. Menyedihkan, ketika seseorang bisa tertawa lepas atas kemenangan yang diraih dari penderitaan mereka yang kehilangan. Kau tertawa dengan apa yang kau ambil dari mereka yang menangis, bingung: harus makan apa, atau makan siapa?
Bagaimana kita memulihkannya?
“Setumpuk emas belum tentu cukup bagi orang serakah, tapi sepiring nasi itu cukup bagi orang yang bersyukur.”
Petuah ini adalah penawar bagi politik Bluetooth: kembalilah pada rasa syukur. Pada kesadaran bahwa keberhasilan tak harus menyingkirkan orang lain. Bahwa kekuasaan bukan untuk memisahkan, tapi mempersatukan.
Bersyukur atas kemampuan yang ada, bukan serakah mengejar kemauan yang belum tentu halal jalannya. Karena keserakahan hanyalah lubang tanpa dasar tak pernah penuh, tak pernah cukup.
Politik kita butuh jarak yang lebih panjang dari sekadar 10 meter, dan frekuensi yang lebih luas dari 2,4 GHz. Ia butuh hati yang terhubung, bukan hanya sinyal yang searah. ***





