Oleh Eddy Ngganggus
Suarantt.id, Kupang-Dalam perjalanan hidup, kebahagiaan sering kali dikaitkan dengan empat “ta”: harta, takhta, wanita, dan kuota. Tiga “ta” pertama merupakan standar lama yang sudah dikenal sejak era 70-an, sedangkan “kuota” adalah tambahan baru di era digital saat ini. Tanpa kuota, akses terhadap tiga “ta” lainnya menjadi terbatas.
Namun, apakah benar kebahagiaan hanya bergantung pada keempat hal tersebut? Ataukah ada syarat lain yang lebih fundamental dalam mencapai kebahagiaan sejati?
Pergulatan Akal dan Rasa
Dikisahkan seorang pemuda yang setiap malam dihantui oleh kebiasaan onani. Ia tahu bahwa secara ilmiah, hubungan seharusnya terjadi dengan lawan jenis, bukan sekadar lewat imajinasi. Namun, meski pikirannya melarang, tubuhnya tetap menyerah pada godaan.
Setelah melakukannya, ia justru diliputi rasa bersalah yang begitu besar seperti keinginan untuk buang air, tetapi terhalang sesuatu hingga menimbulkan rasa sakit. Untuk mengatasi penyesalannya, ia bertekad menebus kesalahannya dengan cara yang lebih baik. Keesokan harinya, ia berjanji untuk tidak berbohong sebuah kebiasaan buruk lain yang selama ini melekat dalam dirinya. Selain itu, ia juga memutuskan untuk membaca kitab suci sebagai pedoman hidupnya.
Hasilnya, seharian penuh ia berhasil menepati janjinya. Ia merasa lega, seolah telah menyeimbangkan kembali dirinya. Langkah berikutnya adalah perjuangan untuk benar-benar meninggalkan kebiasaan yang menurutnya tidak sehat.
Kisah ini mungkin pernah dialami oleh banyak orang, meski dalam bentuk dan versi yang berbeda. Kita semua pernah melakukan kesalahan, menyesal, dan berusaha menebusnya. Ada yang berhasil, ada yang masih dalam proses, dan ada yang terus berjuang. Namun, satu hal yang pasti: usaha untuk memperbaiki diri adalah keinginan mulia yang patut dihargai.
Akal dan Rasa yang Sinkron
Menggapai kebahagiaan ibarat menanam pohon. Tugas kita adalah menanam, menyiram, dan merawatnya, tetapi pertumbuhan tetap berada dalam kuasa Tuhan. Sayangnya, banyak orang terjebak dalam ambisi yang terlalu besar tanpa keseimbangan akal dan rasa.
Ambisi lahir dari rasa, sedangkan strategi pencapaiannya berasal dari akal. Ketika rasa terlalu mendominasi tanpa didukung oleh akal yang matang, muncullah ketidakseimbangan. Inilah yang membuat banyak orang frustrasi mereka menginginkan sesuatu dengan cepat, tetapi tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mencapainya.
Sebagai contoh, seseorang ingin mendapatkan pujian dan pengakuan, tetapi akalnya tidak cukup cerdas untuk menghasilkan karya yang layak dipuji. Keadaan ini terjadi ketika kemauan lebih besar daripada kemampuan.
Padahal, pencapaian yang cepat dan akurat hanya bisa diraih dalam kondisi tenang—baik secara hati maupun pikiran. Ketenangan inilah yang muncul dari sinkronisasi akal dan rasa.
Refleksi dan Ketenangan: Kunci Bahagia
Salah satu cara mengatasi kecemasan dan ketidakseimbangan dalam hidup adalah dengan meluangkan waktu untuk refleksi. Dengan refleksi, akal dan rasa bisa bersinergi, menciptakan ketenangan yang memungkinkan kita berpikir secara detail, kritis, dan humanis.
Tanpa refleksi, kita mudah terseret dalam kekacauan emosi dan pikiran. Oleh karena itu, kebahagiaan sejati bukan hanya soal harta, takhta, wanita, dan kuota, tetapi tentang bagaimana kita menyelaraskan akal dan rasa dalam setiap langkah kehidupan. ***





